Rahasia Kematian dan Kehidupan Manusia
Kematian adalah perjalanan yang
pasti dilalui oleh semua manusia. Mereka tidak bisa menghindarinya. Allah swt
berfirman: " Tiap−tiap yang berjiwa pasti mati..." (QS 3:185).
Perjalanan yang pasti dilalui itu
mengisyaratkan kepada kita bahwa diri kita diselimuti berbagai rahasia dan
misteri. Sampai hari ini, ilmu pengetahuan belum dapat memahami esensi
kehidupan dan kematian. Allah swt menisbatkan mati dan hidup kepada Diri−Nya
dalam berbagai ayat Al−Quran Al−Karim: "Yang menjadikan mati dan hidup..." (QS 67:2).
Ilmu
pengetahuan sampai saat ini belum dapat membedakan secara akurat antara sel−sel
hidup dan sel−sel mati. Sel−sel hidup membangkitkan kegiatan kehidupan,
sedangkan sel−sel kematian tidak mampu membangkitkannya; tetapi secara lahiriah
perbedaan itu tidak dapat diketahui sebabnya. Padahal sebenarnya kedua jenis
sel itu sama materi dan strukturnya. Keduanya terdiri atas kalsium, ferum, dan
hidrogen. Hanya saja sel−sel hidup mampu membangkitkan kegiatan yang dahsyat
yang tidak mampu dilakukan oleh sel−sel mati. Sel−sel hidup itu pun tidak akan
mati sampai terhentinya kegiatan kehidupan yang didukungnya. Anehnya, ketika
kehidupan terhenti sel−sel itu juga tidak berkurang strukturnya sama
sekali.
Surat kabar Iththila'at di Iran,
edisi 10160, pernah menulis tentang komentar pertemuan ilmiah yang diadakan untuk
mengkaji seputar masalah tersebut:
"Setelah seribu tahun yang akan
datang, manusia akan dapat mengungkapkan misteri kehidupan, tetapi bukan
berarti bahwa manusia akan dapat menciptakan lalat, serangga, ataupun sel−sel
hidup. Objek kajian seperti itu ditegaskan oleh para ilmuwan pada seminar
dengan topik Darwin. Pada akhir seminar itu, seorang profesor dari Amerika,
Hans, mengumumkan bahwa pada seribu tahun yang akan datang, para ilmuwan akan
dapat mencurahkan perhatiannya untuk mengungkap misteri kehidupan."
Ada juga upaya−upaya yang bagus
untuk menghilangkan ketuaan pada diri seseorang dan memanjangkan umur manusia
sebatas yang bisa dilakukan. Sayangnya, setiap kajian yang dilakukan untuk
memperpanjang umur manusia hanya berkisar pada pencegahan penyakit dan
pengobatannya, baik yang menyangkut penyakit saraf maupun penyakit jiwa. Akan
tetapi, semua kajian itu sama sekali tidak dapat mengusik−usik pengaruh
perilaku manusia terhadap panjang umurnya, atau pengaruh dosa terhadap
berkurangnya umur. Semua itu kembali kepada perilaku ilmu pengetahuan itu
sendiri yang membatasi dirinya hanya pada tabung−tabung penelitian, kajian
sebab−akibat yang sifatnya material, dan mengabaikan semua hal yang tidak masuk
ke dalam kerangka inderawi dan percobaan yang berdasarkan sebab−akibat
tersebut. Akibat kerangka pemikiran yang sempit itu, hubungan sebab−akibat yang
non−material tidak dapat dipahami dan tidak masuk akal. Misalnya, hubungan
antara kebohongan dan memutuskan silaturahim dengan berkurangnya umur. Begitu
pula hubungan antara kejujuran dan silaturahim dengan panjangnya umur. Hubungan
sebab−akibat seperti itu tidak mungkin masuk dalam kerangka uji−coba penelitian
material, karena hubungan tersebut berkaitan dengan hal−hal gaib yang
disampaikan kepada kita melalui hadis−hadis yang bersumber dari wahyu Ilahi.
Patut disebutkan juga di sini bahwa para ilmuwan mengakui kesempitan jangkauan ilmu pengetahuan yang dihasilkan dari kerangka inderawi dan percobaan sebab−akibat material. Mereka menyatakan bahwa dunia yang mereka ketahui melalui indera dan percobaan berdasarkan sebab−akibat materialistik adalah kecil, bahkan sangat kecil dibandingkan dengan alam lain yang sangat berpengaruh terhadap kehidupan manusia. Sayangnya esensi alam itu belum bisa dijangkau oleh berbagai uji coba tersebut.
Maurice Materlink, seorang ilmuwan
Eropa, yang dikatakan sebagai Socrates−nya zaman modern ini walaupun nilainya
masih jauh di bawah Socrates sendiri, ia mengatakan: "Saya ingin
mengulangi perkataan saya lagi bahwasanya saya tidak mengetahui sesuatu pun.
Saya ulangi sekali lagi bahwa tidak ada seorang pun yang mengetahui sesuatu.
Jika ada seseorang yang mengetahui sesuatu pasti dia akan memberitahukannya
kepada manusia yang lain, dan semua orang pasti mengetahui dirinya serta
memahami rahasia penciptaan alam ini. Dari sini dapat kita pahami bahwa rahasia
penciptaan, rahasia−rahasia alam semesta dan akhirnya, hanyalah Tnerupakan
hasil rekaan yang terbersit dalam benak kita. Atas dasar itu, kita membangun
teori−teori yang berkaitan dengan masalah tersebut, di mana teori−teori
tersebut akan terus dipakai selama belum diketahui adanya kekurangan dalam
teori itu. Apa yang saya katakan tentang persoalan ini pun adalah hasil
pemikiran saya sendiri dan saya pun tidak mengklaim bahwa yang saya katakan
adalah benar. Jika ada seseorang di dunia ini yang mengakui kebenaran
perkataannya mengenai rahasia penciptaan alam ini, maka kita perlu melihat
sejauh mana kebenaran pengakuannya." (Dunya Dekar, hlm 5)
Arbery, seorang ilmuwan Inggris,
mengatakan: "Pengetahuan kita bagaikan setetes air dan ketidaktahuan kita
bagaikan samuderanya. Setiap kali tetes air itu membesar, maka setiap kali itu
pula samudera akan semakin membesar. Boleh jadi generasi−generasi terdahulu
telah mengalami kemajuan dalam dunia ilmu pengetahuan dan bisa menyingkap
rahasia−rahasia alam ini yang barn, akan tetapi sangat menyedihkan, bahwa kita
sekarang ini mesti mengakui keticlaktahuan kita mengenai rahasia wujud ini,
misteri kehidupan dan kematian, filsafat penciptaan, dan lain−lain. Begitu pula
misteri yang belum terungkap oleh ilmu pengetahuan sekarang ini. Mengapa kita
semakin jauh? Sekarang ini, kita tidak mengetahui siapa diri kita sendiri, dan
tidak mengetahui keterkaitan antara diri kita dengan alam semesta. Tidak ada
yang mengetahui dari mana kita datang clan hendak ke mana kita pergi setelah
kita mati. Me¬mang kita tidak mengetahui apa−apa dan terpaksa meletakkan tanda
tanya besar dihadapan semua itu..." (Dar Jistajwi Khusybakhte, hlm 221)
Ilmuwan terkenal, Plamarbon
mengatakan: "Saya melihat dan berpikir, tetapi apa yang disebut dengan
aktivitas berpikir? Tidak seorang pun dapat memberikan jawaban atas pertanyaan
ini. Saya berjalan, dan apakah sebenarnya hakikat perbuatan otot−otot ini?
Tidak seorang pun dapat mengetahuinya. Kehendakku adalah kekuatan, tetapi
kekuatan yang immaterial. Bahkan semua keistimewaanku yang bersifat ruhani
adalah immaterial. Aku dapat mengangkat tanganku kapan pun kuinginkan.
Keinginanku itu dapat menggerakkan sisi materi dari bagian tubuh saya. Lalu
apakah hakikat peristiwa ini? Lalu apakah yang menjadi perantara antara
kekuatan immaterial dan gerakan tubuh yang material ini? Tidak seorang pun
dapat memberikan jawaban atas pertanyaan ini. Katakanlah kepada saya:
"Bagaimanakah caranya saraf−saraf penglihatan memindahkan gambar dari luar
ke pikiran? Lalu apakah hakikat pikiran itu? Bagaimana hasil itu dapat dicapai?
Dan di mana tempatnya? Lalu bagaimanakah cara kerja otak kita? Saya dapat
melontarkan pertanyaan seperti itu sampai sepuluh tahun yang akan datang.
Tetapi tidak seorang ilmuwan pun yang sanggup memberikan jawaban memuaskan atas
pertanyaan−pertanyaan tersebut." (Irthibath Insan va Jahan, hlm. 20−23)
Oliver Lag, seorang ilmuwan Barat
terkenal, mengatakan: "Apa yang kita ketahui sungguh sangat sedikit sekali
dibandingkan dengan apa yang tidak kita ketahui. Sebagian ilmuwan
mengulang−ulang ungkapan tersebut tanpa keyakinan, tetapi saya mengatakannya
penuh keyakinan dan keimanan." (Irthibath Insan va Jahan, hlm 23)
Banyak lagi pengakuan−pengakuan lain
mengenai kekurangan ilmu pengetahuan yang dimiliki manusia. Kita menganggap
cukup untuk mengutip pernyataan dari para ilmuwan Barat. Kita kutipkan di sini
pernyataan dari ilmuwan Timur, Abu Ali ibn Sina yang banyak mengucapkan
kata−kata ini menjelang ajalnya: "Kita mati tetapi kita tidak membawa
hasil apa−apa kecuali kita mengetahui bahwa kita tidak punya ilmu
apa−apa."
Anehnya, kita melihat bahwa di
samping pengakuan−pengakuan dari para ilmuwan tersebut, kita juga melihat
ilmuwan yang mengeluarkan pernyataan dengan penuh keluguan dan kepolosannya
yang sama sekali tidak mempercayai segala sesuatu di alam semesta yang tidak
masuk di akal mereka, dan dengan tegas mengingkari segala sesuatu yang tidak
bisa mereka buktikan dalam tabung−tabung penelitian, dan laboratorium−
laboratorium bedah mereka.
Dituturkan dari orang bijak,
Budzarjamhar, bahwa ada seorang perempuan yang mendatanginya lalu mengajukan
pertanyaan kepadanya. Dia menjawabnya tidak tahu. Perempuan itu mengatakan:
"Sungguh keterlaluan, sang raja telah memberi Anda sejumlah harta kekayaan
setiap bulan, tetapi Anda tidak dapat memberikan pertanyaan yang saya
ajukan." Budzarjamhar yang bijak menjawab: "Sesungguhnya sang
raja memberikan sejumlah harta ini atas pengetahuan yang kumiliki, dan jika dia
hendak memberikan imbalan atas hal−hal yang tidak kuketahui, niscaya dia tidak
akan mampu memberikannya meskipun ia memberikan harta kekayaan yang ada di
gudangnya."(Al−Kasykul 3: 310)
Bagaimanapun, semua ilmuwan sepakat
mengenai keterbatasan ilmu pengetahuan manusia. Dan memang begitulah yang ditegaskan
oleh Al− Quran: "...Tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit."
(QS 17:85). Kita mengetahui bahwa sesungguhnya Allah swt memilih para nabi
untuk diutus kepada manusia agar menjelaskan kepada mereka jalan kebahagiaan,
dan menunjukkan kepada mereka kebaikan, serta menjauhkan mereka dari malapetaka
yang timbul di dalam masyarakat manusia karena berbagai sebab. Tindakan seperti
itu dilakukan, karena ketidaktahuan umat manusia mengenai detail dan dimensi
hal−hal yang membahayakan dan menguntungkannya. Oleh karena itu, manusia akan
menghadapi berbagai macam kesulitan dan kerusakan jika dia menjauhi petunjuk
para nabi. Dan begitu pula sebaliknya, mereka akan meraih berbagai mkmat dan
kebahagiaan yang hakiki bila mengikuti petunjuk para nabi. Nash−nash berikut
ini menegaskan tentang adanya keterkaitan tersebut.
"Apa saja musibah yang
menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri..."
(QS 42:30).
"Telah tampak kerusakan di
darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia...." (QS
40:42).
Itulah uraian yang berkaitan dengan
pengaruh dosa yang dilakukan oleh manusia. Adapun hal−hal yang ada kaitannya
dengan pengaruh amal kebaikan terhadap kebahagiaan manusia, Imam Ja`far
Al−Shadiq (sa) berkata: "Orang yang dapat hidup dengan kebaikan yang
dilakukannya adalah lebih banyak daripada orang yang hidup karena jatah
umurnya." (Bihar Al− Anwar 73: 354) Beliau juga mengatakan: "orang
yang hidup dengan kebaikan mereka jumlahnya lebih banyak ketimbang orang yang
dapat hidup karena memang iatah umurnya. Dan orang yang mati karena dosanya
adalah lebih banyakdibandingkan dengan orang yang mati karena memang
ajalnya sudah tiba." (Biharul Anwar 5:140)
Persoalan ini berkaitan erat dengan
keyakinan terhadap konsep Al− Bada'. Berdasarkan riwayat−riwayat tersebut
tampak bahwa manusia memiliki dua macam ajal. Pertama, ajal yang pasti (hatmiy)
bila kematian manusia telah betul−betul tiba, dan dia tidak bisa menghindar
darinya, dan kedua, ajal yang ditangguhkan (mawquf) atau bersyarat (mu'allaq),
di mana ajal dapat ditunda dengan berdoa atau bersedekah. Imam Muhammad
Al−Baqir (sa) berkata kepada Muhammad bin Muslim: "Maukah kamu
kuberitahu sesuatu yang mengandung kesembuhan dari segala macam penyakit sampai
kepada rasa kejenuhan?" Muhammad menjawab: "Ya," kemudian Imam
Al−Baqir (sa) menjawab: "Itu adalah doa." (Falah Al− Sail, hlm 28)
Bahkan, takdir−takdir kita yang lain
pun banyak yang mirip bentuknya dengan hal di atas, yaitu diubahnya takdir kita
akibat amal perbuatan yang kita lakukan. Hamran, salah seorang sahabat Imam
Muhammad Al−Baqir (sa) pernah mengatakan kepadanya bahwa dia pernah bertanya
kepada beliau tentang firman Allah: "Dialah yang menciptakan kamu dari
tanah, sesudah itu ditentukannya ajal (kematianmu), dan ada lagi satu ajal yang
ditentukan yang ada pada sisi−Nya..." (QS 6:2).
Imam Al−Baqir mengatakan:
"Yaitu dua ajal. Pertama, aial yang pasti yang telah dijatuhkan temponya
(hatmiy) dan ajal yang ditangguhkan." (Ushul Al−Kafi 1: bab
Al−Bada')
Ada juga riwayat−riwayat lain yang
mengandung makna yang sama dengan riwayat tersebut, dan juga merupakan
penafsiran dari ayat itu, yang berasal dari para imam Ahlul Bayt Nabi saw.
Sehubungan dengan masalah ini, banyak sekali kisah yang bersumber dari
riwayat−riwayat dari Ahlul bait Nabi saw, yang semuanya dipenuhi dengan
pelajaran tentang persoalan ini. (disarikan dari kitab Iqab Adz− Dzunub)
YANG LEBIH OKE ANDA KLIK DISINI
Komentar
Posting Komentar