Rahasia Ekonomi dan Politik Nabi Muhammad SAW
Sesuai dengan tugasnya sebagai
utusan Allah Swt, Rasulullah Saw berkewajiban membimbing umat menuju
kesejahteraan di dunia dan kebahagiaan di akhirat. Dalam upaya mendapatkan
kesejehteraan dunia, terselenggaranya kehidupan ekonomi yang lancar, adil, dan
kondusif sangatlah penting dan menentukan. Oleh karena itu, dalam bidang ekonomi,
Rasulullah Saw berkewajiban untuk memastikan terpenuhinya seluruh kebutuhan
pokok setiap individu masyarakat secukup-cukupnya dan memberikan kesempatan
untuk mendapatkan kebutuhan hidup sesuai kemampuannya.
Untuk merespons persoalan-persoalan
ekonomi, Rasulullah menetapkan landasan politik ekonomi yang bersumber dari
Al-Qur’an, yang antara lain meliputi:
- Pelaksanaan fungsi khalifah untuk
memakmurkan bumi dengan pembangunan yang efektif dan efisien.
- Memastikan prinsip-prinsip syariah
ditegakkan dengan baik dalam proses pembangunan ekonomi.
- Mengoptimalkan semua potensi alam
untuk kemakmuran dan kesejahteraan manusia.
Bertolak dari landasan inilah, Nabi
Saw menyelesaikan segala persoalan ekonomi dengan membuat pelbagai kebijakan
yang kemudian dijadikan sebagai prinsip utama dalam sistem ekonomi Islam.
Prinsip-prinsip utama itu antara lain:
1. Menjalankan usaha-usaha yang
halal (permissible economic activities). (Q.S. An-Nisâ’ (4): 29).
2. Hidup hemat dan tidak
bermewah-mewah (abstain from wasteful and luxurius living). ( Surat Al-A‘râf
(7): 31)
3. Menegakkan prinsip ekonomi yang
berkeadilan dan mendorong keseimbangan antara sektor riil dan sektor finansial.
(Surah Al-Baqarah ayat 274-278
4. Menerapkan social security system
melalui implementasi zakat (implementation of zakat). (Q.S. At-Taubah (9):
103).
Keempat prinsip utama ini tentu
bukan hanya memberi batasan-batasan moral dalam aktivitas dan sistem ekonomi
Islam, tetapi juga memiliki konsekuensi-konsekuensi yang menciptakan bangun
ekonomi Islam. Konsekuensi-konsekuensi itu di antaranya meliputi hal-hal
berikut:
1. Eksistensi lembaga Baitul Mal
sebagai implementor kebijakan fiskal negara. Hal ini juga memiliki konsekuensi
sentralisasi administrasi seluruh pendapatan dan pengeluaran negara.
2. Dominasi konsep bagi hasil dalam
dunia keuangan dan investasi sebagai konsekuensi pelarangan bunga (riba).
3. Adanya lembaga Hisbah untuk
mengawasi pasar.
Beberapa kebijakan ekonomi Nabi
Muhammad Saw secara ringkas tertuang dalam tiga aspek, yaitu :
1. Pembenahan semua bentuk transaksi
terlarang yang mengandung unsur ribâ, gharar, ihtikâr, tadlîs, dan zulm.
(Ar-Rûm ayat 39, An-Nisâ’ ayat 160-161, Âli ‘Imrân ayat 130, dan Al-Baqarah
ayat 278-279)
2. Revisi sistem kompensasi (upah);
“Mereka (para pekerja dan pelayanmu) adalah saudaramu. Allah menempatkan mereka
di bawah asuhanmu sehingga barang siapa mempunyai saudara di bawah asuhannya
maka harus diberinya makan seperti apa yang dimakannya (sendiri) dan diberi
pakaian seperti apa yang dipakainya (sendiri); dan tidak membebankan kepada
mereka dengan tugas yang sangat berat. Dan jika kamu membebankannya dengan
tugas seperti itu, hendaklah kamu membantu mereka (mengerjakannya).” H.R.
Muslim, no. 4405, Kitâb al-Aimân, Bâb Itâm al-Mamlûk.
3. Perbaikan kebijakan fiskal dan
keuangan publik.
Kebijakan fiskal adalah kebijakan
yang ditempuh pemerintah dalam mengelola pemasukan dan pengeluaran negara.
Negara Madinah yang dipimpin Nabi Muhammad Saw juga memiliki sistem kebijakan
fiskal yang unik pada zamannya.
Sumber-sumber penerimaan Negara
Madinah antara lain berasal dari zakat, khumus, jizyah, kharâj, fai’, dan
sumber-sumber penerimaan lain. Untuk mengelola perbendaharaan negara beliau
mendirikan Baitul Mal.
Disamping sumber-sumber pendapatan
tersebut, ada beberapa sumber penerimaan sekunder lainnya, yaitu:
1. Pinjaman-pinjaman.
2. Rikâz, yaitu harta karun yang
ditemukan pada periode sebelum Islam.
3. Amwâl al-fadlâ, yaitu harta
warisan kaum muslimin yang tidak memiliki ahli waris atau harta seorang muslim
yang meninggalkan negerinya.
4. Wakaf, yaitu aset tetap atau
bergerak yang didedikasikan untuk kepentingan umat Islam dengan memanfaatkan
pokok aset atau memanfaatkan hasil dari pokok itu. Pemanfaatan pokok aset
seperti wakaf tanah untuk masjid dan sarana umum, sedangkan pemanfaatan hasil
dari pokok aset seperti wakaf hasil sewa gedung. Pengelola wakaf disebut nazîr.
5. Nawâ’ib, yaitu pajak yang
jumlahnya cukup besar yang dibebankan kepada orang Islam yang kaya dalam rangka
menutupi pengeluaran negara selama masa darurat. Hal ini pernah terjadi pada
masa perang Tabuk.
6. Jenis-jenis sedekah yang lain,
seperti kurban dan kaffârât. Kaffârât adalah denda atas kesalahan yang
dilakukan seorang muslim, seperti denda karena melakukan beberapa pelanggaran
dalam pelaksanaan ibadah haji.
Pengeluaran negara pada masa
Rasulullah Saw dapat dibagi menjadi dua bagian:
(2) Pengeluaran sekunder digunakan
untuk memberikan bantuan kepada orang-orang yang belajar agama di Madinah,
bagian untuk para delegasi keagamaan, bagian untuk para utusan suku dan negara
serta biaya perjalanan mereka. Juga hadiah bagi kepala negara-negara lain,
pembayaran tebusan bagi kaum muslimin yang menjadi tawanan atau budak,
pembayaran denda atas mereka yang terbunuh secara tidak sengaja oleh pasukan
muslimin, pembayaran utang orang yang meninggal dalam keadaan miskin,
pembayaran tunjangan untuk orang miskin, tunjangan kerabat Rasulullah Saw,
pengeluaran rumah tangga Rasulullah Saw, dan persediaan darurat.
Rasulullah Saw melakukan beberapa
cara untuk menutupi pembiayaan negara.
- Cara pertama, adalah dengan
meminta bantuan dari kaum muslimin agar pelbagai kebutuhan, seperti untuk biaya
perang dapat terpenuhi dengan bantuan sukarela kaum muslimin.
YANG LEBIH OKE ANDA KLIK DISINI
- Cara kedua, jika yang dibutuhkan
adalah alat alat perang dan infrastruktur, maka caranya adalah dengan meminjam
peralatan dari kaum nonmuslim dengan jaminan pengembalian dengan memberi ganti
rugi atas peralatan yang rusak tanpa membayar sewa atas penggunaannya. Hal yang
terakhir ini biasanya merupakan bagian dari klausul perjanjian damai antara
Rasulullah Saw dengan suku-suku nonmuslim.
- Cara yang ketiga adalah dengan
meminjam uang dari orang-orang tertentu. Pinjaman ini dilakukan dalam jangka
pendek dan dilunasi setelah kembali dari perang dan mendapat harta rampasan
perang.
KEDUDUKAN BAITUL MAL
“Baitul Mal telah berperan dalam
menopang program dakwah, pembangunan infrastuktur, pendidikan, dan militer
Rasulullah Saw. Lembaga ini pula menjadi saksi ekspansi kekuatan Islam di bawah
kepemimpinan Abû Bakr, ‘Umar, ‘Utsmân, dan ‘Alî. Peradaban Baghdad dan Damaskus
juga berdiri dengan topangan finansial Baitul Mal. Demikian juga kejayaan Islam
di Andalusia, Tunisia, dan Kairo. Bahkan Salâhuddîn Al-Ayyûbî membiayai perang
pembebasan Yerusalem dari Baitul Mal. Baitul Mal dalam bentuk dan fungsinya
yang penuh masih utuh hingga tahun 1924.
Pengertian Baitul Mal
Baitul Mal berasal dari kata bait
yang berarti rumah, dan mâl yang berarti harta. Jadi, secara bahasa (lughawî)
Baitul Mal berarti “House of Fund” atau “House of Wealth”, rumah untuk
menyimpan harta atau kekayaan.
Adapun secara teknis (Istilâhî),
Baitul Mal adalah suatu lembaga yang mempunyai tugas khusus menangani segala
harta umat, baik berupa pendapatan maupun pengeluaran negara. Dengan demikian,
Baitul Mal dengan makna seperti ini mempunyai pengertian sebagai sebuah
departemen yang menangani berbagai harta dan kekayaan negara, baik harta tetap
maupun bergerak. Baitul Mal bertanggung jawab atas anggaran pendapatan dan
belanja negara (APBN), termasuk juga pencatatan dan pelaporannya. Di dunia
keuangan modern, Baitul Mal sepadan dengan Kementerian Keuangan atau Federal
Reserve.
(Antonio, Chalip Umar’s Policy on
the Management of Bait al-Maal: Critical Analysis and Possible Policy
Implications, 1992. Hasanuz Zaman, Economic Functions of An Islamic State,
(revised edition) , Leicester. The Islamic Foundation, 1991, p.137.
Baitul Mal atau Baitul Mal wat
Tamwil (BMT) begitu marak belakangan ini seiring dengan upaya umat untuk
kembali berekonomi sesuai Syariah. Di Indonesia, kemunculan BMT diawali dengan
lahirnya BMT Insan Kamil pada tahun 1992, yang antara lain dimotori oleh Aries
Mufti, Rizal Muganegara, Iwan Kusuma Hamdan, Zainal Muttaqin, dan Muhammad
Syafii Antonio yang tergabung dalam P3UK (Program Pengkajian dan Pengembangan
Usaha kecil). Kemudian momentum ini dilanjutkan oleh Profesor Amin Azis, Binhadi,
dan Zainul Bahar Noor dengan lembaga PINBUK-nya. Upaya ini terus bergulir
dan mendapat momentum pada saat Indonesia mengalami krisis finansial sejak
tahun 1997.
YANG LEBIH OKE ANDA KLIK DISINI
Wah mantap ni pak :)
BalasHapuskunbal http://gadgetkitau.blogspot.com